Sunday, September 20, 2020

Person-Centered Care: Pelajaran Tentang Manusia dari Seorang Ibu dan Dua Sisir Pisang


Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (Foto diambil di Tahun 2018)

28 Juli 2018 adalah bulan ke-6 saya bertugas sebagai dokter gigi Pegawai Tidak Tetap (PTT) di sebuah Puskesmas Pedesaan di Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Menjelang kelulusan sebagai seorang dokter gigi, berbagai gambaran ideal mengenai kemana langkah ini akan dibawa selalu memenuhi kepala hingga terasa sesak. Mimpi untuk dapat melanjutkan sekolah ke luar negeri serta menempuh jurusan manajemen kesehatan atau kesehatan masyarakat agar dapat memberikan impact yang luas bagi negara tercinta, pernah terlintas di pikiran. Namun, tanpa disangka, datanglah kesempatan untuk mengabdikan diri di daerah, yang dapat dikatakan pelosok, jauh dari ambisi dan gemerlap kota metropolitan. Segala keunggulan pendidikan di Universitas terkemuka di negara maju pun jauh dari bayangan. Namun, justru momen inilah yang membuka mata saya tentang makna menjadi manusia yang berguna bagi manusia lain dimulai dari lingkungan terdekat, dimulai dari saat ini, dimulai dari tanah air tercinta. 


Juni 2018, kali pertama Ibu Baiq datang ke puskesmas tempat saya bertugas dengan keluhan yang memerlukan perawatan yang terbilang cukup rumit sehingga tidak bisa saya lakukan di Puskesmas. Merujuk Ibu Baiq untuk mendapatkan perawatan di fasilitas kesehatan dengan sarana yang lebih lengkap dan dokter gigi yang lebih berkompeten kemudian menjadi satu-satunya pilihan. Tak sebentar waktu yang saya perlukan untuk dapat  memberikan penjelasan kepada Ibu Baiq mengenai kondisi penyakitnya, pilihan perawatannya, langkah-langkah perawatan, hingga komplikasi pasca perawatan yang dapat terjadi. Ibu Baiq akhirnya setuju untuk dirujuk ke fasilitas kesehatan di Kota Mataram. 



Poli Gigi di Puskesmas Sementara (Setelah Gempa 7 SR di Bulan Agustus 2018)

 

Sekitar 10 hari setelah saya bertemu Ibu Baiq untuk kali pertama, beliau kembali menyambangi  Poli Gigi di puskesmas tempat saya bertugas. Di hari tersebut, beliau mengeluhkan beberapa rasa tidak nyaman yang dirasakan selama masa penyembuhan pasca perawatan. Rasa tidak nyaman ini wajar dialami oleh pasien selama masa penyembuhan karena masih terjadi proses peradangan yang harusnya akan segera membaik dalam beberapa hari kemudian. Saya tenangkan Ibu Baiq dan perlahan saya coba jelaskan mengenai proses penyembuhan yang sedang dialami oleh tubuhnya, “Tenang saja, Bu. Bekas lukanya Alhamdulillah kondisinya saat ini baik. Wajar jika masih merasa sakit dan sulit membuka mulut, karena masih dalam proses penyembuhan. Yang penting Ibu tetap melanjutkan minum obat yang diresepkan dan latihan membuka mulut, Insya Allah dalam tiga sampai tujuh hari lagi akan segera membaik.” Beliau kemudian kembali merasa tenang dan pulang ke rumah dengan raut wajah yang lega.

 

Beberapa hari kemudian, saya terkejut saat melihat daftar pasien yang mendaftar ke Poli Gigi karena lagi-lagi ada nama Ibu Baiq. Satu yang saya takutkan, bahwa penyembuhannya tidak terjadi dengan baik. Namun, ternyata beliau nampak segar dan baik-baik saja. Kemudian saya persilakan beliau untuk duduk di kursi periksa, saya bertanya “Ada keluhan apa, Bu? Bagaimana sekarang kondisinya?” yang kemudian beliau jawab “Alhamdulillah sekarang sudah tidak terasa sakit sama sekali, Dok, saya bisa membuka mulut normal seperti biasa.” 

 

Kemudian refleks saya menjawab,“Wah saya kaget lho, Bu, tadi melihat nama Ibu di daftar pasien. Saya kira ada keluhan lagi,” Beliau menjawab dengan tawa sambil malu-malu berkata, “Hehehe, cuma pengen kontrol aja, Dok.”

 

Ibu Baiq pun kemudian izin keluar sebentar dari ruang periksa dan kembali dengan membawa dua sisir pisang. “Ini lho, Dok, cuma mau kasih ini, saya ambil dari kebun rumah saya. Terima kasih ya, Dok, sudah membantu merawat saya.” Betapa kagetnya saya, ternyata Ibu Baiq sengaja datang kontrol kembali untuk memberi saya pisang yang beliau ambil dari kebun rumahnya.



Satu Momen di Puskesmas 

 

Tidak menyangka bahwa momen sederhana itu kemudian menjadi momen yang menyadarkan saya betapa pentingnya memperlakukan pasien sebagai manusia, yang tidak seharusnya hanya dinilai berdasarkan penyakitnya, namun sebagai manusia yang juga memiliki cita-cita, pilihan, kebutuhan, serta kemampuan yang melekat dalam dirinya.


Pertemuan itu kemudian menjadi awal dari lahirnya mimpi dalam diri saya untuk bersama-sama merangkul, mendorong, dan memberi energi bagi seluruh penyedia layanan kesehatan agar bersama-sama dapat memberikan layanan kesehatan yang selalu berpegang pada prinsip bahwa pasien adalah manusia yang lebih dari penyakitnya. Person-centered care kemudian menjadi fondasi dari mimpi ini. Sebuah prinsip pelayanan kesehatan di mana pasien bersama dengan  penyedia layanan dan profesional kesehatan bersama-sama menjadi partner dalam rangkaian perawatan untuk mewujudkan kualitas hidup yang lebih baik. Sebuah prinsip yang akhirnya menjadi benih dari lahirnya TumbuhSehat.