Wednesday, January 24, 2018

Staycation: Tanjung Kodok Beach Resort




Jalan Tuban-Gresik, Paciran, Lamongan
East Java, 62264
Phone (+62322) 666 000
Price upon booking (Dec 2017) Idr 1.700.000 (USD 127)

Unlike our usual winter holiday, me and my family spent our last christmas holiday by staying at a beach resort not so far from our hometown, only about three and a half hour driving. This resort has been operating for quite a long time but apparently we just got the chance to visit it. There is no white long sandy beaches along its shoreline so I first thought that the surroundings will not be too spectacular, but I found that I was wrong. Combined with the beautiful architecture of the resort it was a great facilities to enjoy a staycation while breathing the sea air. 

The rooms are overlooking the sea with balcony in each of it, not to mention the bed is overlooking the big window. When I woke up I could see the beautiful horizon in front of me. I would say that this resort has a great facilities; a beautiful architecture, a pool overlooking the ocean, a gym, a coffee shop, a restaurant, and when we stay at the hotel we also get free ticket entrance to Wisata Bahari Lamongan (an amusement park beside this resort), but I did not feel satisfied with their service.

We got free dinner and it was said that the dinner would be available at 7 pm. When I arrived at the restaurant at 7 pm, a lot of the menus on the buffet are already unavailable anymore and there were a lot of dirty tables with glasses and plates that were not been taken care of. Speaking of the key of a great hotel is service, right? And at the pool there was an announcement board which say the pool open until 9 pm, but when I got there at 8 pm the pool was already closed. Why do this misinformation could happenned? 

So, I give this hotel rate 2.5 out of 5 stars. It is okay to go here when you need a quick staycation but when I have a longer off days I think I prefer to go to Bali for I haven't once found flaws about hotel service in Bali. 



Top (Tailor-made), Pants (This is April), Shoes (American Eagle at Payless)





Wisata Bahari Lamongan (an Amusement Park on The Shoreline)
Jalan Raya Paciran, Paciran, Lamongan
East Java, 62264
Phone (+62322) 666 111
Entrance fee: idr 60.000 (USD 4.5) weekdays, idr 80.000 (USD 6) weekend

Because we got free tickets to enter Wisata Bahari Lamongan, an amusement park on the shoreline located beside this resort, we decided to spend a little time wandering around this amusement park. I have ever visited this amusement park once when I was still in middle school so I almost forget about it. 

When we first entered the park it was still quiet in the morning, we visited its 3d cinema and 3d trick arts museum first. The 3d cinema is already quite old but if you go there with children they will like it anyway. After one hour suddenly it was already so crowded with people, of course, it was a long school holiday. So, it was impossible for us to enjoy rides available there for the queue was sooo looong. So we decided to just wandering around and enjoyed the breeze along its shoreline. Look at the picture above, the location of this amusement park is just beautiful, right?

But do not expect the spectacular rides like the ones in Trans Studio or moreover Universal Studios, heheheh. Nothing spectacular with advanced technology here, but I think if we open our mind, be present and enjoy the moment with our loved ones, this one is enough to seize our day with happiness :)  

Thursday, January 11, 2018

In The Moment


When I was a child
I remember
While we were riding on a boat
I once asked my mother
How come the trees are moving towards us

In the present day
It takes my whole conscience
 To be able to
Observe the world
Through that point of view

But, doesn't it feel content?
To wander through the days
While enjoying things 
Beyond how it seems

To love your job
So much
You realize how tempting 
The new piles of paper on the desk

To enjoy the long drive home
While realizing
You could dance all day long
To the new song on the radio

To enjoy the late night shift
While observing
The lights comes from
The over populated buildings

Tuesday, January 9, 2018

Bersusah-susah, yuk!



"Aku ngga nyangka sih, ternyata kamu juga harus nabung untuk beli tas yang kamu pengenin."
"Wah beneran kamu pake lip cream merk lokal W*****? Aku kira kamu bakal pake Kylie atau Girlactik."
"Aku kira kamu bukan tipe orang yang mau kerja di tempat terpencil." (dalam konteks pembicaraan dengan topik dokter gigi PTT (Pegawai Tidak Tetap) atau dokter gigi tenaga kontrak, program pemerintah daerah untuk dokter/dokter gigi yang akan ditempatkan di puskesmas daerah selama 1 tahun)

Wah sering sekali saya mendengar pendapat lawan bicara saya dengan konteks mirip seperti contoh di atas.  Jelas saya punya andil hingga lawan bicara saya memandang saya dalam sudut pandang tersebut. Di media sosial memang saya jarang mengunggah foto ataupun cerita ketika saya sedang berjuang, yang saya unggah lebih sering foto-foto atau cerita ketika saya traveling, berpartisipasi di event tertentu, bertemu dengan orang-orang hebat, hingga foto OOTD (Outfit of The Day). Kebanyakan manusia memang begitu ya, sepertinya? 

Saya pribadi merasa tidak nyaman sih mengunggah kesulitan-kesulitan atau perjuangan yang sedang saya hadapi, lebih karena takut kesannya saya mengeluh dan akhirnya membuat orang lain tidak nyaman. Sementara jika saya mengunggah cerita traveling misalnya, paling tidak ada hal positif yang bisa diambil, contohnya tentang bagaimana indahnya pariwisata di Indonesia sehingga kita tidak perlu jauh-jauh ke luar negri saat ingin berlibur, tentang betapa terawat dan edukatifnya museum yang dimiliki perseorangan di Yogyakarta sehingga kita paling tidak bisa terinspirasi untuk juga berbuat sesuatu untuk tanah air kita. 

Tapi jika dipikir secara logika, tidak mungkin hidup ini tanpa berjuang, iya kan? Everybody is fighting their own battles we know nothing about, katanya. Tidak usah membahas terlalu jauh tentang battle yang sebegitu rumitnya dulu mungkin, untuk bisa staycation di hotel-hotel yang saya review di blog ini  contohnya, saya seperti berjuta-juta manusia lainnya juga harus bekerja dan menabung. Berangkat dari jam 8 pagi non stop hingga jam 9 malam, bahkan sudah biasa untuk makan siang atau makan malam saya lakukan di mobil sambil menyetir dari tempat kerja yang satu ke tempat kerja berikutnya. Makanan pun saya bawa bekal dari rumah, begitu juga untuk air minum saya bawa botol berisi air dari rumah. Supaya hemat dan tidak harus jajan di luar. Supaya uangnya bisa ditabung untuk investasi lain dan traveling. Saya juga sering bekerja di hari Sabtu dan Minggu, ketika normalnya waktu tersebut bisa diluangkan untuk sekedar jajan di coffee shop atau nonton di bioskop.

Saya pun jarang bertemu dengan bapak dan ibu karena mereka berdua sibuk bekerja. Kalau di film sering ada adegan seorang anak yang merasa broken home dan tidak diperhatikan orang tuanya karena sibuk bekerja, saya justru terinspirasi dari orang tua saya. Rumah saya sudah mirip seperti restoran cepat saji 24 jam. Karena rasanya seperti selalu ada kehidupan 24 jam non stop. Sering bapak baru pulang jam 12 malam dan harus penerbangan paling pagi keesokan harinya, jam 4 pagi beliau sudah berangkat ke bandara. Dalam satu hari pun beliau bisa ada di 3 kota berbeda sampai-sampai saya sering bingung saat ada yang tanya "Bapak lagi dimana?" I often lose track of him. 

Tapi jujur justru saya terinspirasi. Dari situ saya terbiasa dengan kondisi bahwa untuk bisa merasakan pengalaman hidup yang maksimal memang harus bersusah-susah. Pasti ada opportunity cost yang harus dibayar. Untuk bisa traveling ya harus berkerja dan berhemat, untuk bisa jadi dokter yang hebat ya harus belajar setiap hari dan mau berjuang dari bawah, untuk merasakan pengalaman hidup dan mengenal tanah air kita hingga suatu hari nanti kita bisa berkontribusi dengan maksimal ya harus siap melihat dengan mata kepala sendiri dan merasakan bagaimana hidup di daerah underprivileged.
 
Siddhartha Gautama tidak menjadi Buddha dengan menjadi raja di kerajaannya. Juga tidak dengan berkeliling dari kerajaan satu ke kerajaan yang lain. Siddhartha Gautama menjadi Buddha dengan terjun ke rakyatnya yang hidup serba kesulitan, dengan menjadi pertapa, dengan meninggalkan kehidupannya yang serba berkecukupan. Intinya tidak mungkin sih hidup itu enak terus, gampang terus, dibalik semua gemerlap yang saya dan semua manusia lain unggah di media sosial, saya coba untuk positive thinking dan percaya bahwa mereka pun merasakan tahap bersusah-susah dan berjuang. 

Jujur saya berharap semoga saya pun selalu diberi keterbukaan pikiran untuk melihat segala sesuatu dari berbagai sudut pandang dan selalu siap untuk memberikan effort yang maksimal agar dapat menjalani hidup yang bermakna, humble yet contentful life, I hope. Mungkin di antara yang tidak sengaja membaca unggahan ini juga ada yang sering mendapat tanggapan seperti di atas dari lawan bicara? Bagaimana menurut kamu, nih?